Suatu hari …
“Profesi Guru dan juga Dosen itu mempunyai strata ruhaniyah yg paling tinggi ketimbang profesi-profesi lainnya yg ada dalam pergaulan sosial-kemasyarakatan!” ujar Syekh Mukhlisin berapi-api dalam sebuah seminar pendidikan yg bertajuk ‘Mengangkat Harkat Guru’ yg diadakan Persatuan Guru yang Terpinggirkan Indonesia (PGTI) Kota Kaasiu, awal tahun 2013 lalu.
“Jadi, harkat guru gak perlu diangkat-angkat, karena memang secara esensial, maqom guru dan dosen itu memang sudah tinggi. Dalam tradisi Hindu, guru itu berada pada posisi kasta Brahmana; tak ubahnya dgn para Pandita, Kiai, Mpu, Beghawan,–yang amat penting posisi dan tugasnya– di atas para Ksatria atau aparatur pemerintah, penegak hukum, politisi, dsb, Waisya atau para pengusaha, pedagang, penyelenggara ekonomi, bisnis hiburan, kontraktor, dsb, dan sudra atau para pekerja lapangan, buruh, tani, nelayan, dan kaum proletar/marhaen sekalian.”
Para guru peserta seminar mengangguk-anggukkan kepala.
“Tugas utama guru atau kaum brahmana adalah menjadi hati nurani masyarakat, menjadi penasihat sekaligus jembatan yang menghubungkan kepentingan bumi ke langit, dan sebaliknya. Tugas para guru adalah penyeimbang–antara kepentingan-kepentingan badaniah yang diwakili oleh tiga chakra dasar dalam sistem kesadaran manusia dengan kepentingan-kepentingan emosional individual yang diwakili oleh chakra dada dan tenggorokan. Guru sesungguhnya minimal berada pada maqom chakra Ajna, nalar yang jernih, artikulatif, dan visioner–sebelum kesadarannya, pada waktunya, nangkring secara permanen di chakra mahkota–ego individual yg selalu terhubung dan melebur dengan ego universal. Pada titik ini, apa pun tingkah dan gerak hati sang guru di bumi, ia akan selalu terbimbing oleh langit.”
“Para guru adalah mursyid, penunjuk dan pembimbing jalan bagi para murid agar mampu meloloskan diri dari jebakan level kejiwaan materi, nabati, dan hewani ke level jiwa yang manusiawi sampai ke yang Ilahi. guru lah yang menempa, mencuci, dan menyepuh jiwa para murid, agar para murid tahu dan sampai pada jiwanya yang sejati!”
Para guru peserta seminar munyes-munyes tersenyum bangga.
“Jadi, kalau sekarang para guru dan dosen yang konsentrasi hati dan pikirannya lebih banyak nyerewetin duit les, memperkuat eksistensi kariernya ketimbang ilmunya, ngotot minta tambah jatah anggaran pendidikan tapi kemudian dikorupsi, sibuk mematut-matut imej ketimbang menulis dan meneliti, plus males baca, males beli buku, dan ogah ikut pelatihan-pelatihan untuk nambah kapasitas kalau nggak gratis dan dikasih ongkos transport–berarti ia telah secara langsung terjun bebas menurunkan maqomnya sendiri, harkatnya sendiri, ke level yang lebih rendah!”
Para guru peserta seminar bertepuk-tangan.
“Ini bukan berarti para guru gak boleh punya hidup layak, punya mobil bagus, punya duit, dan lain sebagainya, tidak! ini hanya berarti–agar engkau, wahai para guru, jangan sekali-kali mengkonsentrasikan peranmu untuk sesuatu yg sesungguhnya tak sesuai dgn substansi peranmu! kalau para pedagang, sales, apalagi para buruh dan nelayan sibuk mikirin duit untuk hidup layak dan mencari keuntungan–itu memang sudah sewajarnya. Karena memang level, peran, dan aktingnya memang harus begitu. Tp, kalau kalian para guru berakting seperti sales, buruh, politisi, dan pedagang…wah nggak bener itu! itu berarti Anda keblinger!”
Para guru peserta seminar tambah riuh tepuk-tangannya.
“Jadi, kalau Anda tidak sanggup memikul amanah seperti yang selayaknya disunggi oleh peran guru, ya…mengundurkan diri aja. kalau Anda nggak mampu untuk mengubah mental state Anda dari mental sales, broker, atau pemborong proyek itu, ya tahu diri aja lah…mundur, kemudian bertaubat. Demikianlah!!” ujar Syekh Mukhlisin dengan semangat, sambil melirik padaku.
Tepuk tangan para guru membahana, dan terus membahana…
*
Di tengah tepuk tangan yang membahana itu, Syekh Mukhlisin berbisik pada seorang perempuan muda yang berdiri di sampingnya, “Maaf Mbak Panitia, ngomong-ngomong…ada kwitansi yang harus kutanda-tangani nggak? sudah selesai nih materinya…”
Tepuk-tangan para guru terdengar sampai ke surga.
—

Mahasiswa Megister Teknologi Pendidikan Universitas Lampung