Unila: Lampung kerap disebut-sebut sebagai laboratorium konflik, karena dalam kurun waktu yang berdekatan, ada beberapa konflik terjadi di sai bumi ruwa jurai ini. Misalnya, konflik tanah di wilayah Mesuji dan konflik antardesa di Lampung Selatan.

Namun, tidak etis jika Lampung disebut labiratorium konflik, karena konflik itu terjadi tidak disemua wilayah Lampung dan konflik tidak terjadi secara sistematis, namun secara mendadak. Artinya, Lampung bukanlah sebuah wilayah yang menjadikan konflik sebagai cara menyelesaikan masalah.

“Maka, perlu ada sebuah pemetaan culture area sebagai model deteksi konflik dan kekerasan di Lampung,” ungkap Dr. Bartoven Vivit Nurdin, dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung (FISIP Unila) ketika ditemui, Selasa (22/7).

Menurut dosen yang meraih gelar doktoral dalam usia cukup muda ini, studi yang dilakukannya bersama dua dosen FISIP lainnya saat ini masih mengambil sampel pada kearifal lokal masyarakat adat Sai Batin dan titik rawan konflik di Kabupaten Tanggamus.

“Penelitian ini bertujuan untuk membangun sebuah model pengendalian konflik dan kekerasan berbasiskan kearifan lokal dan culture area,” tegas Vivit. Dua dosen lainnya yang ikut dalam penelitian ini adalah Dr. Dedi Hermawan dan Simon Sumanjaya Hutagalung (keduanya dosen Jurusan Administrasi Negara).

Target khusus penelitian ini adalah membuat pemetaan culture area dan penggalian potensi kearifan lokal, yang tentunya sangat berguna bagi wilayah setempat untuk mendeteksi secara dini titik rawan konflik da kekerasan. Penelitian ini juga terbagi atas tiga tahap. Penelitian ini menurut Vivit, masuk dalam penelitian strategis nasional Dikti.

“Sebagaimana diketahui, konflik lahan dan tanah menjadi salah satu alasan terjadinya konflik di Lampung. Selain itu, kecemburuan sosial terkadang juga menimbulkan isu-isu SARA. Sehingga kadang konflik berujung pada konflik etnis atau agama, meskipun bukan itu penyebab utamanya,” tukasnya.

Fenomena yang ada itu, papar Vivit kemudian, menuntut perlunya suatu kontrol sosial sebagai peredam kekerasan. Kontrol sosial ini seharusnya dimiliki oleh pemerintah daerah setempat, “salah satunya dari culture area dan penggalian potensi kearifan lokal itu sendiri,” ungkap Vivit.

Vivit menilai, semua pihak harus ikut berpartisipasi dalam meredam konflik ditingkatan bawah. “Semua harus berperan. Tokoh masyarakat, tokoh adat, hingga pemerintah daerah harus duduk bersama,” ungkap Vivit yang mengatakan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi, dengan observasi dan wawancara mendalam.[] Andry